Rangkuman Buku Problematika Hukum Islam Kontemporer Jilid 3



Buku ini akan membahas tujuh bab mengenai permasalahan perekonomian yang terjadi pada zaman modern ini. Bab pertama buku ini membahas mengenai:

1. Bursa Efek Dalam Konteks Pemikiran Fiqh
Bursa efek merupakan lembaga tempat transaksi jual-beli efek (spt. Saham, Obligasi, atau surat berharga lainnya) yang terorganisir. Bursa efek merupakan tempat menyelenggarakan kegiatan pasar modal, di mana pasar modal sendiri merupakan perdagangan dana yang berhubungan dengan dan berjangka panjang yang biasanya memakai instrument efek.

Bagaimana pandangan ulama mengenai bursa efek?
Dalam Islam setiap bentuk dan perilaku ekonomi yang di dalamnya mengandung anasir mafsadah (merusak), dharar (menyesatkan), gharar (tipuan), haraj (paksaan), dan najsy (menggoyang harga supaya tinggi melampaui batas standart beli) hukumnya dilarang.
Menurut Khalid Abd Rahman dalam bukunya al-Tafkir al-Iqtishodi fi al-Islam, perseroan yang modalnya diwujudkan dalam lembaran-lembaran saham adalah batal dan tidak dibenarkan secara syari'at. Beliau beralasan bahwa:
a. Tidak adanya aktivitas pemegang saham untuk mengolah dan memproduksi kekayaan sesuai dengan Islam. Dalam Isalm perusahaan yang benar mesti dilandasi atas jerih payah manusia. Dan melalui jerih payah manusia untuk mengelola dan memproduksi kekayaan itulah akan timbul laba.

b. Tidak adanya batas waktu berakhirnya persekutuan pemilik saham. Dalam Islam setiap perikatan senantiasa terbatas masanya, maksimal sampai anggota persekutuan itu tidak lagi cakap dalam bertindak atau hingga meninggal dunia.

c. Terjadinya untung atau rugi tidak berpengaruh pada besar ata kecilnya modal saham dalam perseroan. Dalam Islam untung sama dibagi dan rugi sama ditanggung.

d. Para komisaris dan Anggota direksi selaku pengelola perusahaan selalu memperoleh bagian laba. ini haram hukumnya dalam Islam. Semestinya mereka hanya mendapatkan upah atau gaji yang ditentukan melalui majlis rapat umum pemegang saham (RUPS).

Mengenai obligasi, Majlis Fatwa Al-Syar'iyah Kuwait berpandangan bahwa apabila obligasi itu merupakan instrument investasi, maka memperdagangkannya dibursa efek hukumnya haram secara qath'i. Karena hal tersebut termasuk riba. Begitupula dengan saham, namun dalam saham apabila kepemilikan saham itu dimaksudkan sebagai penyertaan dalam persekutuan modal maka hal tersebut diperbolehkan.

Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Abdu al-Rasul yang merupakan dosen serta doktor dalam bidang ilmu ekonomi Universitas Al-Azhar, beliau berpendapat bahwa kehadiran bursa saham serta obligasi adalah seiring perkembangan perbankan, sebagai tuntutan yang bersifat dharuri dalam konteks sistem ekonomi dan politik. Beliau menghukuminya mubah. Pendapat beliau diperkuat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh Abdurrahman Isa maupun Syaikh Mahmud Syaltut, beliau berdua pernah memfatwakan bolehnya penerbitan saham dan obligasi perbankan karena alasan al-dharurah. Namun mereka mensyaratkan bahwa transaksi itu harus dibayar segera dan kontan.

Menurut penulis buku ini berpendapat bahwa saham dan obligasi merupakan modifikasi sistem persektuan modal dan kekayaan atau yang dikenal dalam fiqh dengan sebutan syirkah dan qiradh. Jumhur ulama pada dasarnya memperbolehkan sistem persekutuan usaha dengan menyertakan harta saja atau beserta tenaganya.

Usaha patungan yang anggotanya menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada salah satu atau beberapa anggota sekutu atau orang lain lazim disebut Syirkah Mufawwadah. Sedangkan penyertaan investor untuk menanamkan sebagian kekayaan untuk dikelola oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dikenal dengan Mudharabah atau Qiradh.

Penulis juga berpendapat bahwa perdagangan efek di pasar modal atau bursa efek masuk dalam kategori gharar yang dilarang secara syariat, kecuali apabila aspek-aspek ghararnya bisa dihilangkan. Bursa efek harus relistis harganya. dengan artian harus rasional perhitungannya, kecil agionya dan mesti ditutup peluang adanya capital gain.
02-12-2020

2. Riba, Bunga Bank, dan Kredit Perumahan
Riba secara bahasa berati tambahan. Sedangkan secara istilah adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di antara dua pihak yang melakukan muamalah utang-piutang atau tukar-menukar barang. Riba dalam jual beli ada dua macam:
a. Riba Fadl (Riba yang berlipat ganda)
Riba ini sudah jelas diharamkan dalam Islam sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 130. Contoh praktek riba ini yaitu misalkan ada seseorang membeli emas dengan emas dengan takaran atau timbangan yang tidak sama dan tidak kontan.
b. Riba nasi'ah (Riba tangguhan waktu)
Riba ini terjadi ketika seseorang meminjamkan sesuatu misalkan seperti uang dengan catatan apabila melebihi batas waktu yang sudah ditntukan sebelumnya maka orang yang meminjam harus membayar biaya tambahan atau denda.

Kedua riba diatas secara hukum asal diharamkan oleh islam. Riba Fadl diharamkan karena zatnya, sedangkan Riba nasi'ah adalah jenis riba kecil yang diharamkan karena untuk menutup pintu kepada riba fadl (berlipat ganda). Namun penulis buku ini berpendapat bahwa riba nasiah dibolehkan bila ada maslahah atau hajat, seperti misalnya demi menghindari pencurian harta maka seseorang menaruh uangnya di bank.

Penjelasan selanjutnya yaitu mengenai bunga bank. Para ualam di Indonesia terbagi menjadi dua pendapat mengenai unga bank. Ada yang mengharamkan karena bunga bank sama dengan riba sesuai dalil al-Quran dan Hadist. Sedangkan pendapat yang kedua yaitu bunga bank dibolehkan dengan dasar bahwa bunga bank tidak sama dengan riba dengan alasan bahwa bunga bank itu sifatnya produktif. Orang yang meminjam bukan untuk dimakan tetapi untuk dijadikan modal usaha yang akan menghasilakn keuntungan dan dari situ bank selaku memberi pinjaman berhak untuk mendapat keuntungan pula, dan di awal peminjaman si peminjam dan pemberi pinjaman sudah saling menyetujui hal tersebut.  Alasan kedua mengapa dibolehkannya bunga bank adalah belum ada jalan keluar untuk menghindarinya (darurat).

Pada bab dua ini juga dijelaskan mengenai kredit perumahan yang merupakan salah satu kegiatan bank yang tidak lepas dari bunga. Yang menjadi masalah dalam kredit rumah di bank adalah bank menggunakan sistem prosentase dan model jual-beli yang tidak kontan.

Dalam Fikh Islam, jual-beli dengan tidak kontan disebut bai'ul al-ajal, dan istilah untuk membayar uang muka yaitu bai' al-'urban. Terdapat perbedaan ulama mengenai jual-beli dengan uang muka, Jumhur Ulama Anshar mengatakan tidak boleh dengan alasan jual-beli tersebut termasuk hal yang mengandung kesamaan, pertaruhan, dan terdapat unsur memakan harta orang lain tanpa imbalan, begitu pula pendapat Imam Malik. Di antara ulama yang membolehkannya yaitu ulama tabi'in seperti Mujahid, Ibnu Sirin, dan Zaid bin Aslam.  Imam Syafi'i, Dawud, dan Abu tsaur juga membolehkannya.

Hukum asal  kredit di bank dengan sistem prosentase adalah haram lisaddi al-Dziraah. Namun karena sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh golongan ekonomi lemah, maka hukumnya boleh atas dasar hajat dan maslahat.
03-12-2020

3. Konsep Gadai (Al-Rahn) Dalam Fiqh Islam: Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersil.

Dalam fiqh Islam Gadai atau Al-Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Imam Abu Zakaria Al-Anshori dalam kitabnya Fathul Wahab menjelaskan gadai adalah menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar. Melihat dari penjelasan tersebut, kegiatan gadai masuk ke dalam kategori utang-piutang.

Persoalan yang muncul mengenai aktifitas gadai adalah bagaimana kedudukan hasil atau manfaat barang gadai? Sejauh mana hak orang yang memberi gadai atas barang gadaiannya itu dengan melihat tidak jelasnya masa utang harus dibayar mengingat ada terjadinya inflasi mata uang?.

Pemberi gadai hanya bertanggung jawab untuk menjaga, memelihara, dan berusaha semaksimal mungkin agar barang yang digadaikan tidak rusak. Jika barang gadai rusak karena tindakan pemberi gadai, maka si pemberi gadai wajib menggantinya. Namun jika barang tersebut rusak disebabkan bukan tindakannya maka ia tidak wajib menggantinya. Si pemberi gadai diperbolehkan untuk meminta biaya pemeliharaan barang sesuai dengan biaya yang dibutuhkan.

Imam Syafi'i dalam kitabnya yang berjudul Al-Um mengatakan bahwa yang berhak menerima manfaat dari barang yang digadaikan adalah orang yang menggadaikan, sedangkan orang yang memberi gadai tidak. Hal ini karena orang yang menggadaikan bukan menyerahkan hak milik, tetapi hanya sebagai jaminan saja. Dalam setiap keadaan tidak boleh bagi yang menerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadaian, apabila disyaratkannya dalam waktu akad.

Menurut Imam Malik pemanfaat dari barang gadai ialah apabila pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya dan jangka waktu yang menjadi syarat sahnya mengambil manfaat tersebut sudah ditentukan, maka sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka tidak sah penerima gadai mengambil manfaat dari barang gadai tersebut. Dari sini kita bisa melihat bahwa Imam Malik membolehkan mengambil manfaat dari barang gadai dengan syarat yang telah disebutkan.

Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, apabila barang yang digadaikan berupa hewan ternak yang bisa ditunggangi atau diperah susunya maka boleh bagi pemberi gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadai tersebut tanpa seizin yang menggadaikannya. Adapaun selain barang tersebut, maka pemberi gadai boleh mengambil manfaat dari barang gadai dengan seizin yang menggadaikannya. Jadi, Imam Ahmad bin Hanbali membagi hukum pengambilan manfaat barang gadai menjadi dua, yang pertama bagi barang yang bisa diperah susunya dan ditunggangi maka si penerima gadai dapat mengambil manfaat sesuai dengan nafkah yang dikeluarkan. Kedua, Bagi barang yang tidak bisa diperah dan tidak bisa ditunggani maka penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadai tersebut.

Pendapat Imam Abu Hanifah,  dengan intinya memberikan hak kepada pemberi gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.

Penulis buku ini menyimpulkan bahwa barang gadai selain hewan ternak tidak berhak untuk diambil manfaatnya oleh pemberi gadai tanpa seizin dari yang menggadaikan. Dan pemanfaatan barang tersebut hanya untuk menutupi biaya pemeliharaan yang harus ditanggung oleh pemberi gadai.

4. Hibah Terhadap Anak-Anak dalam Keluarga (Antara Pemerataan dan keadilan)

Hibah berarti memberi atau pemberian. Definisi hibah dalam hukum Islam berarti akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika hidup dan tanpa imbalan. Dengan demikian hibah merupakan bentuk pemberian sukarela tanpa menghendaki imbalan kepada orang lain.

Empat Imam Madzhab bersepakat bahwa hibah itu sah bila disertai ijab dan kabul serta diserahterimakan. Namun menurut sebagian pengikut Imam Hanbali, bila hibah hanya diserahkan dengan ijab itu sah atau bahkan hanya diserah terimakan tanpa ijab dan kabul.

Syarat serah terima hibah untuk sahnya hibah itu sendiri ada dua, yaitu Imam Ahmad, Imam Malik, Abu Tsaur, dan Ahli Dhahir berpendapat bahwa syarat serah terima dalam hibah itu tidak harus ada, dengan artian hibah tetap sah walaupun tidak adanya serah terima antara pemberi dan penerima. Pendapat yang kedua, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i dan Al-Tsauriberpendapat bahwa serah terima merupakan syarat sahnya hibah.

Dalam pemberian hibah, para ulama sepakat bahwa bersikap adil merupakan kesunnahan dalam memberikan hibah bagi orang tua kepada anaknya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai pemerataan dalam pemberian itu. Abu Yusuf, Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa orang tua disunnahkan untuk menyamaratakan dan tidak membeda-bedakan dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan. Sedangkan menurut mayoritas ulama dari kalangan Imam Hanafi, seorang ayah harus memberikan hibah sama dengan bagian yang ditetapkan dalam wasiat, yaitu laki-laki mendapat dua kali lipat lebih banyak dari perempuan.

Imam malik, Imam Ahmad, Ishaq, dan Al-tsauri berpendapat harus menyamaratakan pemberian hibah antara anak laki-laki dan perempuan dengan alasan bahwa melebihkan di antara anak-anak dalam pemberian merupakan tindakan batil dan menyimpang. Dipertegas lagi oleh sayid Sabiq pengarang kitab Fiqhus Sunnah yang mengatakan bahwa pemberian yang tidak sama akan mengandung usaha menaburkan benih permusuhan serta dapat memutuskan hubungan silaturahmi.

Penulis buku ini berkesimpulan bahwa Bersikap adil dan mempersamakan pemberian kepada anak-anak adalah wajib hukumnya. Dan melakukan hal sebaliknya maka hurumnya haram kecuali bila ada faktor yang membolehkannya, seperti keadaan cacat yang menjadikan seseorang tidak dapat bekerja.

5. Penimbunan Barang dalam Aktivitas Ekonomi Menurut Pandangan Hukum Islam

Penimbunan barang adalah membeli suatu barang kemudian menyimpannya dengan maksud agar barang itu berkurang dari peredarannya di masyarakat, sehingga pada suatu waktu harganya meningkat. Kemudian saat harganya meningkat penimbun itu mengeluarkan barangnya dan menjualnya dengan harga tinggi di luar standar yang berlaku di pasar.

Penimbunan barang dagangan dalam Islam hukumnya haram. Hal ini dikarenakan penimbunan yang dilakukan itu bertujuan untuk mencari keuntungan yang lebih banyak, terutama saat harga barang tersebut naik.

Penimbunan barang dapat merusak stabilitas ekonomi, tertama penimbunan yang berhubungan dengan bahan makanan. Perbuatan seseorang disebut dengan menimbun barang yang diharamkan menurut para ahli fiqh apabila terdapat tiga syarat berikut:
a. Barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, serta tanggungan untuk persediaan setahun penuh.
b. Bahwa barang yang ditimbunnya itu dalam usaha menunggu naiknya harga dan para konsumen sedang membutuhkan barang tersebut waktu itu.
c. Barang yang ditimbun merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh manusia, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Sedangkan barang yang tidak terlalu dibutuhkan oleh manusia  maka hal itu bukan merupakan penimbunan barang yang diharamkan menurut Islam.

Menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, penimbunan barang yang diharamkan adalah menimbun barang yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia seperti makanan. Adapun menimbun barang lain yang merupakan kebutuhan sekunder bagi manusia seperti alat transportasi tidak diharamkan. Namun ulama madzhab yang lain mengharamkan penimbunan segala jenis bentuk barang yang dapat membuat perekonomian tidak stabil.
05-12-2020

6. Al-Ujrah 'ala al-Tha'ah: Suatu Tinjauan Syar'i dan Sosiologi Terhadap Kegiatan Dakwah Dewasa Ini

Hukum dakwah bagi umat Islam adalah fardhu kifayah. Dakwah merupakan pekerjaan yang baik yang harus disertai dengan niatan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah, ikhlas dan tanpa pamrih kecuali kepada Allah SWT.

Dalam berdakwah seorang da'i harus memiliki basyirah atau keahlian dan kemampuan serta pengetahuan mengenai masalah-masalah yang diperlukan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan kandungan dari ayat 108 dari surat yusuf. Kemudian, seorang da'i harus memiliki sikap istiqomah atau konsisten terhadap apa yang dikatakan dan diajaknya. Seorang da'i harus istiqomah dalam hal perbuatan dan perkataan, jangan sampai seorang da'i tidak melakukan apa yang dikatakannya. Al-Quran telah melarang seorang da'i yang menyeru kepada sesuatu namun sang da'i sendiri tidak melakukannya, sebagaimana terdapat dalam surat ke-28 ayat 1-2.

Seorang da'i juga harus memiliki sikap tanpa pamrih atau tidak mengharapkan imbalan jasa atas perbuatan tersebut kepada manusia kecuali kepada Allah SWT. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran surat ke-11 ayat 72. Sehingga dari sikap tanpa pamrih ini, manusia bisa melihat ketulusan dalam dakwahnya. Hal yang terakhir yang harus dimiliki oleh seoarang da'i dalam berdakwah adalah akhlak yang mulia. Hal ini dilihat dari cara dakwah Nabi SAW dan beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Ketika seorang da'i diharuskan untuk tidak pamrih dalam berdakwah, lalu bagaimana hukum seorang da'i yang mengambil upah dari dakwhnya?. Nah, seorang da'i yang mengabil imbalan atas jasa yang ia lakukan disebut dengan al-ujrah ala al-tho'ah. Sebutan tersebut juga ditujuakn kepada seseorang yang mengambil imbalan atas jasa melakukan suatu kewajiban agama seperti mengajar al-Quran, menjadi khatib, imam atau muazin, dan guru agama.

Para ulama terbagi menjadi tiga golongan dalam menghukumi al-ujrah ala al-tha'ah. Golongan pertama yaitu ulama yang membolehkan secara mutlak. Di antara ulama golongan yang pertama ini yaitu dari madzhab Syafi'i dan Maliki. Mereka beralasan bahwa perbuatan itu membawa keuntungan bagi pemberi imbalan, misalnya orang yang diajari al-Quran akan semakin bisa untuk mengenal al-Quran. Pendapat mereka didasari oleh dalil naqli dari hadist Nabi SAW pada al-Bukhari III: 187.

Golongan yang kedua yaitu golongan ulama yang mengharamkannya secara mutlak. Salah satu imam madzhab dari golongan ini yaitu Imam Hanafi. Alasan golongan ini mengharamkan hal tersebut karena perbuatan-perbuatan tersebut adalah bersifat ibadah kepada Allah SWT dan mengambil upah atasnya bisa menghilangkan sifat ibadahnya tersebut. Golongan ini juga melihat berdasarkan hadist Nabi SAW dalam Al-Syaukani: 322 dan 323.

Kemudian golongan yang ketiga yaitu golongan yang membolehkan karena kebutuhan. Di anatar ulama madzhab dalam golongn ini yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Golongan ini membedakan antara pelaku yang betul-betul membutuhkan imbalan dan yang tidak. Bagi pelaku yang membutuhkannya maka ia boleh mengambil imbalan sesuai dengan kebutuhannya saja. Sedangkan bagi yang tidak membutuhkannya maka haram baginya untuk mengambil imbalan dari perbuatan tersebut.

Pendapat dari penulis buku ini, bahwa mengambil upah dalam suatu ketaatan itu dibolehkan  namun hukumnya makruh syadidah, dengan catatan selama perbuatan itu tidak menjadi tujuan utama  (apabila tidak ada upah untuk hal itu seorang da'i atau guru tetap mau melaksanakan tugasnya). Jika menjadikan mengambil imbalan atau upah dari kewajibannya sebagai da'i atau guru atau pekerjaan lain yang berkaitan dengan agama sebagai barang dagangan atau sarana mencari nafkah maka hukumnya haram. Dan pastinya, selama pekerjaan mengambil upah itu tidak merusak citra Islam maka itu boleh. Namun jika berpotensi merusak citra Islam maka itu menjadi haram.

7. Problem Uang Haram dalam Kajian Ilmu Fiqh

Hukum haram dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu haram qath'iy yang keharamannya bersifat absolut alias tidak bisa digugat lagi karena sudah diterangkan secara tegas dalam al-Quran maupun hadist. kemudian ada haram dhanny yang bersifat ijtihadi alias tidak absolut atau masih bisa diperdebatkan karena tidak diterangkan secara tegas dalam al-Quran maupun hadist.

Perbedaan dari kedua hukum tersebut yaitu jika seseorang ingkar terhadap sesuatu yang dihukumi haram qath'iy maka bisa menjadi kufur, Sedangkan ingkar terhadap sesuatu yang dihukumi haram dhanny tidak bisa menyebabkan seseorang menjadi kufur, namun bisa dikatakan sebagai fasiq.

Namun ada kaidah fiqh yang berbunyi "Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang". Dari kaedah tersebut jika seseorang dalam keadaan darurat untuk melakukan sesuatu hal yang dihukumi haram qath'iy maupun dhanny maka diperbolehkan dengan catatan tertntu.

Setelah mengetahui sifat hukum haram dalam Fiqh Islam, selanjutnya kita membahas mengenai uang haram. Uang haram merupakan uang yang diperoleh melalui jalan atau cara atau pekerjaan yang dilarang oleh agama. Pada dasarnya uang sebagai benda tidaklah haram, namun karena perbuatan untuk mendapatkan uang tersebut tidak dibenarkan menurut syariat maka uang tersebut menjadi haram.

Lalu bagaimana jika seseorang sudah terlanjur memiliki uang haram dan ingin membersihkan dirinya dari dosa uang haram tersebut?.  Hal yang paling utama yang harus dilakukan adalah bertaubat kepada Allah SWT, menyesali perbuatan tersebut dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Selanjutnya jika uang haram tersebut berkaitan dengan manusia, maka yang bersangkutan harus menyerahkan uang tersebut untuk kemaslahatan umun dan yang bersangkutan haram untuk memakan atau memanfatakan uang haram tersebut.

Juga tidak dibenarkan untuk memberikan uang haram tersebut kepada perindividu atau dengan artian perorangan tidak berhak untuk menerima uang tersebut untuk kepentingan pribadinya. Kecuali hasil mencuri dari seseorang, maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Uang haram yang dimiliki oleh seseorang tidak ada zakatnya, karena syarat wajib zakat bagi seseorang adalah memiliki secara sempurna. Kemudian Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim mengatakan bahwa "Allah SWT tidak menerima zakat atau sedekah dari harta yang diperoleh dari cara curang". Artinya Allah tidak menerima zakat dari uang haram.

Kesimpulan dari bab ini, bahwa uang haram yang berkaitan dengan haqqullah maka cara penyelesainnya dengan didonasikan untuk kepentingan umum. sedangkan uang haram yang menyangkut haq manusia harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Terima kasih telah membaca
Semoga Bermanfaat
07-12-2020

Komentar